Mikroenkapsulasi Propolis Bubuk

Propolis adalah zat resin dan bersifat lengket yang dikumpulkan oleh koloni lebah dari getah pohon dan dicampur dengan lilin lebah/bees wax dan enzim lebah itu sendiri (Sforcin & Bankova, 2011). Propolis digunakan oleh lebah sebagai bahan perekat atau dempul pada sarangnya. Umumnya propolis mengandung resin (50%), wax (30%), minyak esensial (10%), polen (5%), dan komponen organik lain (5%) (Ramos & Miranda, 2007; Viuda-Martos et al., 2008). Rata-rata kandungan masing-masing senyawa dalam propolis dapat beragam tergantung dari : 1) Sumber makanan lebah penghasil propolis, 2) Iklim, 3) Kondisi lingkungan sekitar dimana lebah itu tinggal (Viuda-Martos et al., 2008).

Propolis memiliki kandungan gizi mikro yang bernilai cukup tinggi yaitu vitamin A, vitamin B, dan vitamin C, mineral berupa kalsium, magnesium, natrium, zat besi, mangan, timbal, dan seng, dan enzim suksinat dehrogenase (Bankova et al, 2000). Beberapa zat aktif yang terkandung dalam propolis adalah polifenol (flavonoid, asam fenolat dan esternya), terpenoid, stereoid, dan asam amino (Kumazawa et al, 2004). Stabilitas senyawa atioksidan pada propolis rentan mengalami kerusakan oksidatif, sehingga diperlukan perlakuan yang dapat meningkatkan kestabilan antioksidan dalam upaya menjaga senyawa bioaktif dalam propolis selama penyimpanannya.

pepper powder on white background

Propolis memiliki cukup banyak sifat fungsional yang bermanfaat. Komponen propolis memiliki potensi untuk memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh yang sakit, bekerja sebagai antioksidan dan antibiotik serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik humoral maupun seluler karena mengandung flavonoid sekitar 15% (Krell, 1996). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komponen fenol seperti flavonoid, asam aromatik, dan benzopiren mempunyai efek biologis yang sangat bermanfaat untuk pengobatan  (Halim et al., 2012). Sebuah penelitian menyatakan bahwa propolis memiliki potensi terapeutik yang baik, terutama sebagai antimikroba, Antikanker dan aktivitas antioksidan (Rufatto et al., 2017).

Pemanfaatan propolis telah dirasakan oleh manusia. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya produk-produk propolis yang beredar di pasaran. Produk propolis yang beredar di padaran umumnya dalam bentuk propolis cair. Kelemahan propolis cair yaitu memiliki umur simpan yang lebih pendek akibat tingginya kadar air. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah membuat propolis dalam bentuk bubuk. Propolis bubuk memiliki kadar air yang rendah sehingga dapat memperpanjang umur simpan propolis. Propolis bubuk dapat dibuat dengan metode pengeringan. kelemahan dari propolis bubuk adalah tidak larut air. Kelemahan tersebut menghambat penggunaan propolis. Enkapsulasi propolis dengan metode pengeringan spray drying dapat menjadi metode alternatif untuk melindungi senyawa bioaktif yang terdapat pada propolis menghambat reaksi oksidatif,  meningkatkan stabilitas antioksidan, dan meningkatkan ketersediaannya dengan matriks enkapsulasi yang larut air atau meningkatkan kelarutan (Bruschi et al., 2003; Da Silva et al., 2013).

Da Silva et. al (2011) telah melakukan pengeringan terhadap propolis tanpa dilakukan penyalutan dengan alat pengering spray dryer. Namun, serbuk propolis yang dihasilkan lengket, terjadi aglomerasi saat penyimpanan dan kelarutannya rendah sehingga pemanfaatannya dalam industri pangan masih terbatas. Kelarutannya yang rendah pada pelarut dengan polaritas yang tinggi seperti air dikarenakan propolis terdiri dari komponen-komponen hidrofilik dan hidrofobik, masalah kelarutannya yang rendah ini dapat diatasi dengan penambahan hydrophilic carrier untuk proses pengeringan seperti maltodekstrin sehingga dapat terdispersi dengan baik pada pelarut polar (Da Silva et al, 2011).

Mikroenkapsulasi dapat dilakukan untuk melindungi senyawa aktif dalam propolis ketika dikeringkan. Mikroenkapsulasi adalah suatu proses pelapisan/penyalutan partikel kecil dari zat padat atau zat cair maupun zat terdispersi menggunakan bahan polimer untuk menghasilkan suatu partikel kecil dengan ukuran berkisar antara 1–500 mm. Beberapa jenis bahan yang dapat digunakan sebagai penyalut meliputi gum (gum arabic, sodium alginate, carrageenan), karbohidrat (pati, dextran, sukrosa), selulosa (carboxymethylcellulose, methycellulose), lipida (bees wax, stearic acid, phospholipids), dan protein (gelatin, albumin) (Jyothi et al. 2012). Salah satu keuntungan dari dilakukannya mikroenkapsulasi adalah adanya lapisan dinding polimer yang membuat bahan inti terlindung dari pengaruh lingkungan luar. Dapat mencegah perubahan warna dan bau serta dapat menjaga stabilitas bahan inti yang dipertahankan dalam jangka waktu yang lama

Pile of a ground, mixed peppers isolated on white background with copy space for text or images. Spices and herbs. Food, cooking, restaurant, packaging concept. Frame composition, close-up, side view.

.

Tujuan dari proses mikroenkapsulasi yaitu untuk meningkatkan kestabilan dan daya larut suatu bahan, untuk mengendalikan pelepasan senyawa aktif, untuk menghasilkan partikel-partikel padatan yang dilapisi oleh bahan penyalut tertentu dan meminimalisir kehilangan nutrisi. Teknik mikroenkapsulasi dapat menggunakan berbagai cara yaitu pembentukan polimer dengan reaksi kimia, spray drying, tray drying, co- extrusion, layer by layer deposition, coating dan sebagainya. Kelebihan dari teknik mikroenkapsulasi ini yaitu masa simpan yang cukup lama, praktis untuk di campurkan dengan bahan lain, memiliki kadar air rendah sehingga terhindar dari pertumbuhan jamur penyebab kerusakan.

Produksi mikrokapsul propolisdengan penambahan penyalut mulai dikembangkan, salah satunya dengan penambahan gum arab sebagai penyalutnya. Da Silva (2013) melakukan penyalutan propolis dengan penambahan gum arab sebagai bahan penyalut dengan rasio antara ekstrak propolis dan gum arab 1:4 dan 1:6. Da Silva et.al. (2013) menyatakan bahwa hasil menunjukan bahwa semakin besar rasio gum arab maka semakin tinggi tingkat dispersitas propolis serbuk dalam air dingin walaupun semakin tinggi juga nilai higroskopisitasnya. Kemudian semakin besar rasio gum arab maka semakin besar efisiensi penyalutannya (Da Silva et al., 2013). Hal ini disebabkan oleh bercabangnya struktur dari gum arab sehingga mudah berinteraksi secara polar dengan air pada rantai hidrogennya (Da Silva et al., 2013).

Kombinasi penyalutan antara maltodekstrin dan gum arab juga telah dilakukan oleh Busch et. al., (2017) perbandingan yang dilakukan adalah penambahan maltodekstrin sebanyak 30 gram dan gum arab sebanyak 0,3 gram sebagai penyalut. Propolis dimurnikan terlebih dahulu yaitu dengan melarutkan 14 gram propolis kedalam 100 ml etanol sebelum ditambahkan bahan penyalut. Penyalutan propolis dengan maltodekstrin tanpa penambahan gum arab mengahasilkan bentuk partikel yang bulat tak beraturan dan terdapat lekukan-lekukan pada permukaanya akibat penyusutan saat pengeringan (Busch et al., 2017). Penggunaan gum untuk matriks kedua dapat merubah kinetika pengeluaran bioaktif pada beberapa sistem enkapsulasi (Guan & Zhong, 2015).

Busch et.al.(2017) membandingkan penyalutan ekstrak propolis menggunakan maltodekstrin dan menggunakan kombinasi penyalut maltodekstrin dan gum arab yang hasilnya menunjukan bahwa hasil penyalutan dengan kombinasi penyalut maltodekstrin dan gum arab dapat lebih melindungi senyawa bioaktif. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul gum arab yang memiliki banyak cabang sehingga dapat lebih mempertahankan kandungan fenolik melalui ikatannya (Busch et al., 2017). Bentuk produk propolis selain berbentuk cair dapat pula berbentuk bubuk. Propolis bubuk hasil pengeringan memiliki karakteristik yang tidak larut air .Oleh karena itu, dapat dilakukan mikroenkapsulasi metode spray drying dengan suhu 120 oC menggunakan maltodekstrin dan gum arab untuk melindungi senyawa aktif dalam propolis.

Daftar Pustaka

Bankova, V., Castro, S. De and Marcucci, M. (2000) ‘Propolis : recent advances in chemistry and plant origin Review article Propolis : recent advances in chemistry and plant origin’, Apidologie, 31(1), pp. 3–15.

Bruschi, M. L. et al. (2003) ‘Gelatin microparticles containing propolis obtained by spray-drying technique: Preparation and characterization’, International Journal of Pharmaceutics, 264(1–2), pp. 45–55.

Busch, V. M. et al. (2017) ‘Propolis encapsulation by spray drying: Characterization and stability’, LWT – Food Science and Technology, 75, pp. 227–235.

Da Silva, F. C. et al. (2011) ‘Physicochemical properties, antioxidant activity and stability of spray-dried propolis’, Journal of ApiProduct and ApiMedical Science, 3(2), pp. 94–100.

Da Silva, F. C. et al. (2013) ‘Assessment of production efficiency, physicochemical properties and storage stability of spray-dried propolis, a natural food additive, using gum Arabic and OSA starch-based carrier systems’, Food and Bioproducts Processing. Institution of Chemical Engineers, 91(1), pp. 28–36.

Guan, Y. and Zhong, Q. (2015) ‘The improved thermal stability of anthocyanins at pH 5.0 by gum arabic’, LWT – Food Science and Technology. Elsevier Ltd, 64(2), pp. 706–712.

Halim, E. et al. (2012) ‘Kajian Bioaktif dan Zat Gizi Propolis Indonesia dan Brasil’, Jurnal Gizi dan Pangan, 7(1), pp. 1–6.

Jyothi SS, Seethadevi A, Prabha KS, Muthuprasanna P, Pavita P. 2012. Microencapsulation: a review. IJPBS. 3(1):509–531.

Krell, R. (1996) Value-Added Products From Beekeeping Table of Contents by, Fao Agriculture Services Bulletin.

Kumazawa S, Hamasaka T, & Nakayama T. 2004. An­tioxidant activity of propolis of various geo­graphic origin. Food Chemistry, 84, 329-339.

Rufatto, L. C. et al. (2017) ‘Red propolis: Chemical composition and pharmacological activity’, Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. Hainan Medical University, 7(7), pp. 591–598.

Sforcin JM, Bankova V (2011) Propolis: Is there a potential for the development of new drugs? J Ethnopharmacol 133(2): 253-260.

Viuda-Martos, M., Ruiz-Navajas, Y., Ferna´ndez-Lopez, J., & Perez- Alvarez, J. A. (2007). Antifungal activities of thyme, clove and oregano essential oils. Journal of Food Safety, 27, 91–101.

Tinggalkan Balasan