Salah satu komoditas hortikultura yang melimpah di Indonesia yang saat ini cukup diperhitungkan adalah tanaman pisang. Produksi pisang di Indonesia merupakan komoditas dengan hasil tertinggi dimana sebanyak 6,2% total produksi pisang dunia dan 50% produksi pisang Asia (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Buah pisang mengandung zat gizi yang cukup tinggi, kolesterol rendah serta vitamin B6 dan vitamin C relatif tinggi. Pisang juga merupakan sumber karbohidrat, vitamin A dan vitamin C, serta mineral. Komponen karbohidrat terbesar pada buah pisang adalah pati pada daging buahnya, yang biasanya akan diubah menjadi sukrosa, glukosa, dan fruktosa pada saat pisang matang (15-20%) (Ismanto, 2015).
Buah pisang merupakan komoditi yang cukup menarik untuk dikembangkan dan ditingkatkan produksinya, jika ditinjau dari aspek perdagangan internasional. Namun, buah pisang ini mudah sekali rusak dan memiliki umur simpan yang relatif pendek. Salah satu dugaan kerusakan buah pisang adalah sifat buah pisang yang merupakan buah klimaterik (Giovannoni, 2004). Buah yang mengalami pematangan akibat pengaruh dari sintesis etilen disebut sebagai buah klimaterik, etilen berperan dalam proses pematangan dimana peningkatkan produksi etilen yang masif menginisiasi dimulainya periode klimaterik (Karmawan et al., 2009; Liu, 1999). Perubahan fisik pada buah pisang saat proses pematangan adalah perubahan warna kulit buah hijau menjadi kuning, penurunan ukuran buah, penyusutan berat, serta penurunan kekerasan buah karena dinding sel buah mengalami perombakan oleh enzim (Ding, 2008).
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan umur simpan buah pisang adalah menurunkan pengaruh dari gas etilen, antara lain dengan menggunakan pelapis pada bagian kulit. Senyawa alami yang memiliki potensi untuk diaplikasikan adalah propolis. Propolis merupakan produk yang dihasilkan oleh lebah madu dari campuran madu, lilin, serbuk sari, dan resin dari tumbuhan. Terdapat banyak metode yang dapat dilakukan untuk memperpanjang umur simpan komoditas buah-buahan, salah satunya dengan pengaplikasian edible coating. Edible coating merupakan salah satu lapisan tipis yang rata, dibuat dari bahan yang dapat dikonsumsi, biodegradable, dan dapat berfungsi sebagai barrier agar tidak kehilangan kelembaban, bersifat permeable terhadap gas-gas tertentu, serta mampu mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan perubahan pigmen dan nutrisi buah-buahan. Edible coating sebagai lapisan tipis yang dapat dimakan umumnya digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan, untuk memberikan penahanan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air, dan bahan terlarut serta perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Gennadios dan Weller, 1990).
Buah pisang yang mudah mengalami penurunan kualitas atau mengalami kerusakan diperlukan edible coating untuk melapisi buah pisang sehingga dapat mempertahankan kualitas dan umur simpan pisang sehingga mempunyai kualitas dan umur simpan yang baik sampai pada konsumen. Edible coating ini biasanya digunakan dan dibentuk di atas permukaan produk seperti buah untuk mempertahankan mutu produk. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan edible coating adalah hidrokoloid (protein, pektin, alginate, selulosa, dan lain-lain), lipid (asam stearate, asam palmitat, dan lain-lain), dan komposit (campuran antara bahan hidrokoloid dan lipid). Bahan plasticizer juga merupakan bahan tambahan untuk meningkatkan kualitas edible coating (Krochta, 1992). Konsentrasi setiap bahan penyusun composite edible coating sangat mempengaruhi kemampuan composite edible coating di dalam mempertahankan dan meningkatkan daya simpan buah-buahan.
Penggunaan formulasi lilin lebah dengan propolis sebagai pelapis dapat membentuk polimer, aman untuk dikonsumsi menurut kriteria GRAS dan dapat meningkatkan fungsional lilin. Sifat penting dari pelapis tersebut adalah mampu melindungi produk dari kontaminasi (Chen et al., 1998; Krochta dan De Mulder-Johnstion, 1997). Karakteristik dari lilin lebah adalah mempunyai warna kekuningan, mengeras pada suhu ruang dan getas pada suhu di bawah 7oC, sifat kembali menjadi lunak pada suhu 35oC, densitas 0,09, titik lelehnya pada suhu 60-65oC. Selain itu, lilin lebah mempunyai sifat plastisitas tinggi dibawah suhu 32oC, tidak larut air dan tahan asam. Lilin lebah merupakan turunan petrolium yang mengandung asam lemak rantai panjang dan kandungan bahan lainnya yang sangat dipengaruhi oleh asal tanaman dimana lebah pekerja mencari makan. Adanya perbedaan yang signifikan lilin lebah dengan lilin yang disadap dari tanaman, hal ini disebabkan oleh lebah pekerja mengolah lilin tanaman dengan delapan macam glandula yang ada di dalam perut lebah yang dicampur saliva dan enzim, sehingga menghasilkan lilin yang lembut dan elastis.
Penelitian efisiensi pelapisan edible coating pada buah pisang dilakukan pada beberapa sampel, antara lain kelompok kontrol negatif, kelompok coating dengan konsentrasi propolis sebanyak 5%, 10%, dan 15%. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah indeks warna kulit pisang yang mengindikasi bahwa penggunaan propolis lebih dari 5% tidak memberi pengaruh pada perubahan warna kulit pisang. Selain itu, konsentrasi propolis dapat menjaga kelembaban buah dan mencegah penguapan air (Ali dan Mustafa, 2014) dikarenakan oleh pengaruh kandungan wax propolis yang memiliki sifat hidrofobik (Corbo et al., 2015) sehingga tidak mengalami perubahan susut bobot yang signifikan. Propolis mengandung zat lilin (wax) dan resin eksudat tumbuhan yang dapat menutupi permukaan kulit buah sehingga mengurangi terjadi respirasi (Ali dan Mustafa, 2014). Propolis mempengaruhi perlambatan kenaikan rasio daging buah dan kulit buah namun perbedaan konsentrasi tidak memberikan pengaruh yang nyata. Perubahan rasio daging buah terhadap kulit buah terjadi pada perubahan kandungan air dalam daging buah dan kulit buah dimana kandungan gula dalam buah selama pematangan terjadi peningkatan konsentrasi gula dalam daging buah dibandingkan pada kulit buah yang mengakibatkan perbedaan tekanan osmotik diantara keduanya (Dadzie dan Orchard, 1997). Konsentasi gula yang meningkat dalam daging buah serta proses transpirasi air ke lingkungan menyebabkan kandungan air dalam kulit buah berkurang karena berpindah menuju daging buah maupun keluar (lingkungan).
Propolis dapat menurunkan kekerasan daging buah relatif lebih lambat dibandingkan dengan kontrol negatif. Adapun tiga faktor berkurangnya tingkat kekerasan buah, yaitu pemecahan pati menjadi gula, degradasi dinding sel atau penurunan kohesi pada lamella tengah dikarenakan pelarutan substansi pektin, dan perpindahan air dari kulit buah menuju daging buah disebabkan adanya perbedaan tekanan osmotik (Dadzie dan Orchard, 1997). Proses pematangan komposisi dinding sel mengalami perubahan yang menurunkan tekanan turgol sel sehingga terjadi penurunan kekerasan buah. Hal lain yang berpengaruh pada penggunaan propolis adalah mengalami penurunana kandungan vitamin C dengan laju penurunan rendah. Penurunan kadar vitamin C dapat disebabkan oleh sifat asam askorbat yang mudah dioksidasi oleh oksigen dan cahaya sehinga semakin lama penyimpanan vitamin C maka semakin banyak yan teroksidasi sehingga kadar vitamin C semakin kecil. Hasil pengamatan yang didapatkan adalah kelompok propolis dengan konsentrasi 5% mengalami penurunan kekerasan daging buah terlambat. Hasil yang didapatkan adalah tidak terdapat perbedaan signifikan antara pengaruh coating dengan propolis 5%, 10%, dan 15% sehingga mendapatkan kesimpulan propolis 5% sudah efektif memperpanjang umur simpan buah pisang lebih lama dibandingkan kontrol. Pelapisan edible coating yang dapat memperpanjang umur simpan memberikan nilai tambah dan nilai jual pada buah pisang.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A., Wei, Y.Z., dan Mustafa, M.A. 2014. Exploiting propolis as an antimicrobial edble coating to control post-harvest anthracnose of bell pepper. Packaging Technology and Science, 28: 173-179.
Chen, M. Catherine J. and D. Donely, 1998. Edible and bioedible film. J. Food Sci., 2 (3): 134-176.
Corbo, M.R., Campaniello, D., Speranza, B., Bevilacqua, A., dan Sinigaglia, M. 2015. Non-conventional tools to preserve and prolong the quality of minimally-processed fruits and vegetables. Coating Journal, 5: 931-961.
Dadzie, B.K. dan Orchard, J.E. 1997. Routine Post-Harvest Screening of Banana/Plantain Hybrid: Criteria and Methods. Rome: INIBAP Technical Guidelines 2, International Plant Genetic Resources Institute.
Ding, P. 2008. Cellular structure and related physico-chemical changes during ripening of Musa AAA ‘Berangan’. Pertanika Journal of Tropical Agricultural Science, 31 (2): 217-222.
Gennadios, A. and C.L. Weller. 1990. Edible Film and Coatings from Wheat and Corn Protein. J. Food Technol. 44 (10) :63.
Giovannoni, J. J. 2004. Genetic regulation of fruit development and ripening. The Plant Cell, 16: 170–180.
Ismanto. 2015. Pengelolahan Tanpa Limbah Tanaman Pisang.Balai Besar Pelatihan Pertanian, Batangkaluku.
Karmawan, L.U., Suhandono, S., and Dwivany, F.M. 2009. Isolation of MA-ACS gene family and expression study of MA-ACS1 gene in Musa acuminata Cultivar Pisang Ambon Lumut. Hayati Journal of Biosciences, p35-39.
Krochta, J.M. and De Mulder-Johnston C. 1997. Edible and Biodegradable Polymer Films: Challenges and Opportunities. Food Technol., 51(2):61-74.
Liu, X., Shiomi, S., Nakatsuka, A., Kubo., Y., Nakamura, R., and Inaba A. 1999. Characterization of ethylene biosynthesis associated with ripening in banana fruit. Plant Physiology, 121: 1257-1265.
Suyanti dan Supriyadi, Ahmad. 2008. Pisang, Budi Daya, Pengolahan, dan Prospek Pasar (Edisi Revisi). Penebar Swadaya, Jakarta.